Perkebunan Kelapa sawit telah menjadi objek yang sangat seksi dibicarakan didunia sejak 15 tahun terakhir ini, dengan semua pro dan kontra dalam berbagai diskusi yang diadakan oleh para stakeholders sawit. Nyatanya tanaman sawit merupakan sumber minyak nabati yang paling efisien dan efektif untuk melindungi kerusakan hutan yang lebih jauh dibelahan dunia ini, karena produktivitas minyak sawit paling tinggi per ha dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, sehingga tidak membutuhkan areal yang luas untuk menghasilkan minyak nabati dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia akan minyak nabati, baik untuk kebutuhan pangan maupun non pangan.

Salah satu topik yang paling hot dibicarakan sejak tahun 2003 adalah Sustainable palm oil ((Minyak sawit Berkelanjutan), dimulai dengan rapat pertama RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) di Malaysia tahun 2003 yang dihadiri oleh 200 peserta dari 16 negara. Sejak rapat perdana tersebut, RSPO dengan agresif mengembangkan prinsip-prisip dan kriteria berkelanjutan sawit, dan mulai membuka kantor perwakilannya di Jakarta pada tahun 2006.

Disisi lain, Pemerintah Indonesia sadar dan sangat peduli terhadap praktek berkelanjutan di perkebunan sawit, terbukti dengan diwajibkannya penerapan dan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) bagi perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Menurut Dirjen Perkebunan, sampai dengan pertengahan Desember 2018, sertifikasi ISPO telah mencakup 450 Perusahaan, 4 KUD Plasma, 3 Koperasi Swadaya, dengan total luas kebun yang sudah disertifikasi 3.099.222 ha dari total kebun sawit seluas 14 juta ha. Masih banyak pekerjaan dan proses sertifikasi ISPO yang haru dilakukan agar seluruh perkebunan sawit di Indonesia dipastikan menjalankan prinsip, kriteria dan praktek sawit berkelanjutan. Kerjasama antara Pemerintah, Pengusaha, Petani, Planter dan Lembaga Penelitian/ Pendidikan sangat niscaya dan dibutuhkan untuk mewujudkan niat baik ini.

Dibalik sukses tidaknya penerapan prinsip dan kriteria “Sustainable palm oil (SPO)”, ada sosok yang sangat penting yang sekaligus menjadi aktor utama di perkebunan kelapa sawit. Sosok tersebut adalah Planter, yang merupakan the man behind SPO, yang merupakan sosok penting sukses tidaknya penerapan SPO di perkebunan sawit. Dengan demikian, program pengembangan Planter Profesional seharusnya mulai berubah dan wajib mencakup pengembangan kompetensi yang berbasiskan keberlanjutan, sehingga tidak hanya berpaku kepada pengembangan kompetensi teknis agronomis/pks dan manajemen perkebunan seperti yang selama ini dilakukan.

Praktek dan Tatakelola Perkebunan telah berubah, SOP dan kebijakan perusahaan telah mengikuti perubahan tata kelola tersebut, namun apakah pengembangan para Planter telah mengikuti sejalan dengan perubahan tersebut? Perubahan dan tantangan dunia perkebunan setiap dekade tidaklah sama, tentunya tidak terlepas dari dinamika yang terjadi di dunia perdagangan komoditi seperti persaingan/perang dagang, proteksi dan persyaratan dari negara/masyarakat pembeli, kualitas produk dan hal lainnya. Bila kita ambil benang merah dari semua dinamika diatas, maka kita dapat simpulkan bahwa Masyakat Dunia, semakin hari semakin peduli akan “Kelestarian Hidup” dan “Kesehatan Hidup”, yang tentunya akan tercermin pada udara, air, tanah dan lingkungan yang bersih dan serta manusia yang semakin sehat.

Perubahan di dunia perkebunan, berdampak langsung dengan perubahan yang terjadi pada para Planter, yang bisa kita lihat dengan kasat mata. Dekade ini sangat menarik, karena kita bisa melihat ke tiga tipe/karakter Planter, yaitu Old Planter, New Planter dan Sustainable Planter masih eksis dan berkarir di dunia perkebunan saat ini. Ketiga tipe Planter diatas sangat berbeda satu dengan yang lainnya, dan terkadang terjadi gesekan dalam bekerja bersama-sama di dalam sebuah perusahaan perkebunan. Namun demikian sejalan dengan perubahan waktu, persyaratan pasar/konsumen serta kebijakan pemerintah, maka para Old Planter telah berubah menjadi New Planter dan selanjutnya akan menjadi Sustainable Planter guna menyongsong era Industri 4.0 di dunia Perkebunan.

Planter yang baru memulai karir di akhir abad 2021 ini telah terlahir di dalam era Sustainability, mereka telah belajar dan melihat praktek kerja yang menunjang atau tidak menunjang konsep Keberlanjutan. Mereka sangat kritis akan fakta perusakan lingkungan dan kehidupan yang tidak sehat.

Fakta ini, kembali menunjukkan bahwa sangatlah diperlukan pengembangan kompetensi professional planter dibidang sustainability. Kompetensi sustainability, seharusnya tidak hanya dimiliki oleh seorang sustainability manager, tetapi harus dimiliki oleh para Planter, karena merekalah pelakunya. Perusahaan yang mengembangkan Kompetensi Keberlanjutan pada Planter mereka, maka akan mendapatkan banyak manfaat yang terukur maupun tidak terukur, yang pada akhirnya akan mengurangi biaya atau resiko yang yang diakibatkan oleh praktek kerja yang tidak sejalan dengan prinsip dan kriteria Berkelanjutan.

Sustainable Planter adalah Sustainablity Manager di dalam lingkup kerja yang menjadi tanggungjawabnya, baik tanggung jawab fisik, lingkungan, keuangan maupun SDM. Seorang Sustainable Planter akan mengurangi resiko temuan yang terkait dengan pemeriksaan sertifikasi ISPO, RSPO dan sertifikasi lainnya. Seorang Sustainable Planter akan meringankan pekerjaan dari Sustainability Manager. Seorang Sustainable Planter dibutuhkan dalam rangka membawa Industri Perkebunan ke Era Industri 4.0.

Indonesian Planters Society (IPS), akan bekerjasama dengan para stakeholder perkebunan dalam mengembangkan Kompetensi, Pelatihan dan Sertifikasi Para Sustainable Planter. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah, namun bila semua Stakeholders Utama Perkebunan (Pemerintah, Pengusaha, Peneliti/ Pendidik dan Planter) bersatu dan bersinergi dalam mewujudkannya, maka pekerjaan tersebut akan mudah, dan pada akhirnya akan melahirkan Kinerja Dunia Perkebunan yang Menguntungkan bagi semua Stakeholders Utama. Selamat Datang Para Sustainable Planter. Selamat Mensukseskan Era Industri 4.0.

Sumber: Mediaperkebunan