Indonesia atau TMMIN siap menghadirkan mesin yang mampu mengonsumsi biofuel baik dari sawit maupun etanol. Hal itu selaras dengan upaya pemerintah untuk memacu transformasi dari energi fosil ke green energy.
Saat ini, TMM1N menjadi salah satu produsen yang telah mengekspor mesin etanol ke Argentina untuk pasar Amerika Selatan.
Direktur Administrasi, Korporasi, dan Hubungan Eksternal PT TMMIN Bob Azam mengatakan, pemerintah memiliki peta jalan (roadmap) energi yang mengatur diversifikasi energi. Begitu pula Toyota yang juga memiliki dua pilar utama untuk diversifikasi energi yakni kendaraan listrik dan biofuel atau energi terbarukan.
“Sama dengan yang dibahas pemerintah, tinggal sekarang bagaimana kita bisa menciptakan keekonomian. Masalah kendaraan listrik dan biofuel itu keekonomiannya, harganya harus bersaing dengan mesin bensin atau solar,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (23/6).
Bob optimistis Indonesia bisa melakukan diversifikasi energi dengan cara menyeragamkan peta jalan energi dan peta jalan otomotif. Pasalnya, sekitar 50% pengguna energi adalah sektor otomotif.
Menurutnya, untuk membangun mesin biofuel, dari sisi teknologi tidak ada masalah karena selama ini TMMIN telah memproduksi mesin biofuel menggunakan etanol yang dikapalkan ke Amerika Selatan. Selain itu, untuk mesin diesel saat itu juga tengah dilakukan uji coba untuk biosolar dengan campuran sawit 30% (B30).
Kendati demikian, Bob mengatakan hal yang perlu diperhatikan ialah kualitas bahan bakar yang dihasilkan harus sesuai dengan standar internasional sehingga konsumen otomotif tidak dirugikan.
Bob menjelaskan, di Kawasan Asean, Indonesia dan Thailand menjadi dua negara yang terdepan dalam adopsi biofuel. Kedua negara ini sama-sama tengah berupaya untuk mengurangi emisi gas buang dengan beralih ke energi ramah lingkungan.
Thailand mengembangkan mesin bioetanol yang dihasilkan dari pabrik gula, sedangkan Indonesia berupaya untuk mengembangkan biofuel dari sawit. Bagi pelaku industri, katanya, semakin banyak pemakaian mesin biofuel, maka harga jual kendaraan akan semakin murah karena dapat diproduksi massal.
“Memang bagus, menjanjikan, baik sawit atau pun etanol yang penting kualitasnya dan ketersediaan pasokan. Teknologi sudah ada, tinggal bagaimana mencapai keekonomian,” ujar Bob.
Dia mengatakan, untuk memproduksi mesin bensin berbahan sawit butuh waktu dan uji coba. Berkaca dari biodiesel 20% (B20), butuh uji laboratorium, uji lapangan, dan uji lainnya.
“Yang paling penting ada endorsement dari stakeholder yakni prinsipiel, asosiasi, dan lainnya.”
TERUS DIPACU
Sementara itu, pemerintah terus memacu pengembangan Energi Terbarukan demi memangkas penggunaan energi berbahan fosil.
Pada tahun ini, PT Pertamina (Persero) dan Eni S.p.A., perusahaan minyak asal Italia, menjalin kesepakatan untuk mengembangkan kilang minyak yang mampu mengolah minyak kelapa sawit
menjadi bahan bakar minyak jenis gasolin atau green fuel.
Selain mengembangkan kilang minyak agar mampu mengolah minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/ CPO), Eni juga akan mengambil CPO dari Indonesia untuk diolah di kilang perusahaan itu di Italia. Kemudian, CPO yang sudah diolah menjadi biofuel dan biosolar akan dikirimkan ke Indonesia.
Direktur Pengolahan PT Pertamina Budi Santoso sebelumnya mengatakan kesepakatan tersebut menjadi tonggak penting bagi pengembangan energi masa depan Indonesia yang akan beralih dari energi fosil menuju green energy.
Hal ini akan memaksimalkan potensi minyak kelapa sawit yang merupakan sumber energi terbarukan. Apalagi, Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Menurutnya, hal itu menjadi upaya Pertamina untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan keamanan energi nasional.
Budi mengatakan, Pertamina telah mengembangkan green refinery pertama di Indonesia, dengan pilot project di Kilang Plaju, Sumatra Selatan yang beroperasi pada Desember 2018. Kilang ini menghasilkan green fuel, green LPG, dan green avtur dengan pemanfaatan CPO hingga 7,5%.
Dilansir dari laman resmi Institut Teknologi Bandung (ITB), Dosen Luar Biasa ITB Tatang Hemas Soerawidjaja menyampaikan ada tiga jenis bahan bakar nabati dari pemanfaatan ester metil minyak sawit yakni green diesel, bioavtur, dan bensin nabati. Adapun, pengembangan bensin nabati atau gasolin dengan campuran atau berbahan baku minyak sawit sudah dilakukan perguruan tinggi sejak 1982.
Selain itu, perguruan tinggi telah bekerja sama dengan PT Pertamina sejak 2012 dalam pengembangan green diesel dan avtur nabati. Tatang mengutarakan penghematan devisa akan dapat digenjot bahan bakar nabati (BBN) biohidrokarbon dapat digunakan di dalam negeri.
Adapun, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) menyatakan BBN biohidrokarbon yang dikembangkan oleh ITB dan PT Pertamina memiliki karakteristik yang serupa dengan bahan bakar fosil.
Dalam pembuatannya, asosiasi menemukan bahan baku yang cocok adalah industrial palm oil (IPO) untuk membuat BBN biohidrokarbon, sedangkan industrial kernel oil (IKO) digunakan untuk membuat bioavtur.
Ketua Umum Gimni Sahat Sinaga mengatakan jika green diesel yang menggunakan 30% minyak nabati (B30) lolos uji tes lapangan pada akhir kuartal HI/2019 dan digunakan pada 2020, PT Pertamina akan membutuhkan 9,5 juta ton minyak sawit untuk pembuatan fatty acid methyl ether (FAME) kelapasawitpada tahun depan. Adapun, pengembangan BBN biohidrokarbon dan bioavtur akan menyerap 1,2 juta ton minyak nabati.
Menurutnya, proyeksi produksi minyak nabati pada tahun depan mencapai 51,5 juta ton dengan komposisi kebutuhan industri hilir lokal sekitar 10 juta ton. Adapun, proyeksi ekspor pada tahun depan adalah 37,8 juta ton. Jika pemanfaatan minyak nabati untuk energi diterapkan, katanya, proyeksi ekspor minyak nabati akan terkontraksi sekitar 8 juta ton.
“Volume ekspor akan short. Makanya, kita tidak perlu sibuk dengan Eropa [yang hanya menyerap] 6,5 juta ton [minyak nabati). Kalau mereka tidak mau [menyerap], kita akan pakai domestik,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (23/6).
Sahat optimistis penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku energi akan terus meningkat pada masa depan. Dia memproyeksikan kebutuhan FAME akan tumbuh 36,84% menjadi 13 juta ton pada 2025. Adapun, kebutuhan total IKO dan IPO diperkirakan melesat 566,66% menjadi 8 juta ton.
Hal tersebut sejalan dengan target PT Pertamina yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM agar meningkatkan penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku sebesar 23% pada 2030. Adapun, minyak nabati baru berkontribusi sebesar 8,38% jika proyeksi Sahat terjadi.
Sahat mengatakan perlu dilakukan penanaman kembali pohon-polion sawit yang produktivitasnya sudah menurun. Pasalnya, selain kebutuhan minyak sawit yang terus meningkat, kebutuhan minyak sawit untuk industri hilir pun diproyeksikan akan tumbuh 38,61 % menjadi 14 juta ton pada 2025.
Selain penanaman kembali, asosiasi akan mulai bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menanam pohon yang menghasilkan minyak seperti pohon nyamplung (Ca-lophyllum inophyllum) yang memiliki banyak minyak tetapi tidak bisa langsung dikonsumsi.
“Jadi, mulai dari sekarang harus mulai dibenahi pertanian [di dalam negeri] sehingga 225 dan seterusnya tidak menggantungkan kebutuhan bahan bakar dari sawit. Maka, perlulah departemen atau kementerian khusus perkebunan terpisah dari pertanian,” katanya.
Menurutnya, baru perkebunan sawit korporasi yang melakukan penanaman kembali, sedangkan petani sawit lokal yang menguasai 5,3 juta hektare lahan di berbagai daerah di penjuru Negeri belum melakukan penanaman kembali.
Sumber: Bisnis Indonesia