Pelaku industri sawit meminta tuntutan traceability (kemamputelusuran) tidak menciptakan konflik sosial di masyarakat. Pasalnya, perusahaan menghadapi dilema karena mereka wajib membeli TBS petani. Namun, ada tuntutan untuk membuktikan sumber buah sawit yang dibeli dari petani bebas deforestasi dan tidak berada di kawasan hutan.

Hal ini diungkapkan Togar Sitanggang, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) III Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan, dalam Lokakarya Wartawan Ekonomi dan Pertanian, di Belitung, Kamis (23 Agustus 2018).

Menurut Togar, tuntutan traceability (kemamputelusuran) diminta pembeli kepada produsen dalam kontraknya, secara tidak langsung. Apabila tidak bisa terpenuhi, maka produksi perusahaan dianggap belum sustainable.

Kemamputelusuran atau traceability adalah upaya perusahaan mengidentifikasi serta mendokumentasikan rantai pasok dan sumber minyak sawit ataupun buah sawit yang mereka beli sampai ke kebun petani mitra maupun non mitra (swadaya).

“Kami (produsen) dituntut sustainability dan traceability, itu yang kami kerjakan. Tetapi, perlu juga dukungan dan kepastian hukum dari pemerintah terkait persoalan ini,” katanya.

Dia mencontohkan satu kasus pabrik sawit yang menolak membeli buah sawit petani untuk memenuhi permintaan traceability. Alasannya, perkebunan sawit petani berada di kawasan hutan. “Setelah dua minggu tidak beli, pabrik mereka dapat ancaman akan dibakar. Itu sebabnya, traceability ini membuat industri mengalami kesulitan,”ujar Togar.

Togar menjelaskan permintaan traceability dari pembeli termasuk pemerintah harus melihat kondisi di lapangan. Oleh karena itulah, baik produsen maupun pembelia menjalankan traceability secara bijak.

“Traceability jangan sampai membunuh industri termasuk perkebunan sawit petani. Kami minta pemerintah berikan kepastian hukum. Ibaratnya kalau hitam bilang hitam, jika putih ya katakan putih, “tegasnya.

Togar menambahkan, pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk melindungi industri sawit Indonesia dari maraknya kampanye hitam terutama negara-negara di Eropa.

“Kampanye hitam tanpa fakta objektif dan tendensius dibarengi dengan ancaman boikot akan terus mengikuti perjalanan industri minyak sawit Indonesia yang kini menjadi pemain wahid di pasar minyak nabati dunia. Untungnya, pemerintah masih punya keberpihakan, meskipun setengah hati,” pungkasnya.

 

Sumber: Sawitindonesia.com