Transmigrasi menjadi program pendukung ekspansi industri perkebunan sawit. Hal ini menciptakan ketimpangan ekonomi dan polarisasi penguasaan lahan.

JAKARTA, KOMPAS – Dalam dua dekade terakhir, transmigrasi cenderung menjadi program pendukung ekspansi industri perkebunan sawit Kendati berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, model tersebut menimbulkan komplikasi persoalan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan.

Demikian salah satu kesimpulan hasil studi tentang transmigrasi, kemitraan plasma, dan hak asasi manusia yang dilakukan The Institute for Ecosoc Rights bekerja sama dengan Norwegian Center for Human Rights. Studi dilakukan di empat provinsi yang menjadi wilayah perkebunan sawit, yaitu Riau, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Barat.

Hasil studi selengkapnya disajikan dalam buku Privatisasi Transmigrasi dan Kemitraan Plasma Menopang Industri Smvit yang diluncurkan di Jakarta, Kamis (11/1).

Dalam acara bedah buku kemarin, Kepala Subdirektorat Tanaman Kelapa sawit Kementerian Pertanian Galih Surti Solihin; Direktur Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Ahmad . Erani Yustika; Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kepala sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang; dan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy hadir sebagai pembahas.

Dalam paparannya, Sri Palupi, selaku anggota tim peneliti, menyatakan, ekspansi industri perkebunan sawit ditopang program transmigrasi dan kemitraan plasma. Transmigrasi dan kemitraan plasma, antara lain, menyediakan tenaga kerja, lahan, bahan baku berupa buah sawit, modal produksi oleh bank swasta dan pemerintah, harga sawit rendah yang diterima petani, dan risiko kegagalan yang sebagian dibebankan kepada petani.

Kebijakan transmigrasi yang diintegrasikan dan atau disandingkan dengan industri perkebunan sawit, menurut Palupi, akhirnya menjauhkan transmigrasi dari tujuannya, yaitu pemerataan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Hal ini terjadi pada masyarakat lokal ataupun masyarakat transmigran.

“Yang terjadi, transmigrasi yang menopang industri perkebunan sawit menciptakan ketimpangan ekonomi dan polarisasi penguasaan lahan di daerah-daerah tujuan transmigrasi serta kerusakan sistem sosial budaya masyarakat lokal dan transmigran,” kata Palupi.

Meski demikian, Palupi mengatakan, transmigrasi dengan tingkat keberhasilan tertinggi adalah yang diintegrasikan atau disandingkan dengan industri perkebunan sawit Galih menyatakan, kebijakan perkebunan sawit kompleks sehingga pelaksanaannya di lapangan tidak mudah. Apalagi dengan adanya otonomi daerah.

Ia mengingatkan, sawit adalah aset nasional yang berdampak ekonomi besar terhadap negara dan masyarakat. Ia pun mengimbau semua pihak untuk bersinergi.

Togar berpendapat, secara umum, transmigrasi dan kelapa sawit sukses besar.  tidak menutup mata dengan adanya sejumlah persoalan. Namun, hal itu tidak bisa digeneralisasi menjadi persoalan umum.

“Tidak bisa kita melihat satu masalah lalu digeneralisasi. Tidak ada yang sempurna. Persoalansawitsangat kompleks. Akan tetapi, yang diperlukan adalah satu tujuan, yakni menyejahterakan masyarakat,” kata Togar.

Menyederhanakan

Erani menyatakan, kebijakan transmigrasi adalah salah satu dari produk kebijakan birokrasi. Selama ini, model pengambilan kebijakan birokrasi di semua sektor cenderung dengan menyederhanakan persoalan. Orientasinya, kebijakan bisa segera dieksekusi.

Selanjutnya, ketika evaluasi dilakukan, birokrasi juga cenderung mengambil rekomendasi yang mudah dikerjakan, bukan didasarkan pada kadar kepentingan dan posisi strategis rekomendasi.

“Nantinya, birokrasi untuk menampung sekian banyak lalu lintas pemikiran dan kepentingan membuat sejak awal kebijakan itu cacat,” kata Erani.

Ninuk menyatakan, industri perkebunan sawit memberi sumbangan ekonomi yang besar kepada perekonomian domestik. Sumbangan itu di antaranya berupa devisa ekspor. Namun, faktanya memang terjadi komplikasi persoalan di lapangan yang tidak terjangkau kebijakan.

Salah satu aspek yang harus dilihat dalam memetakan persoalan industri perkebunan sawit, menurut Ninuk, adalah kapitalisme global. Sebagian pemilik industri perkebunan sawit bukan warga negara Indonesia Bahkan, korporasinya pun terdaftar di Singapura.

“Apakah model ini berpihak pada petani dan transmigran,” kata Ninuk.

Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, Yudi Latif, yang hadir di acara itu, menyatakan, Pancasila mengenal hak milik pribadi. Namun, hak milik pribadi itu mempunyai fungsi sosial.

“Rakyat juga diuntungkan dari perkebunan sawit. Problemnya bukan di industri perkebunan sawit, melainkan bagaimana industri tersebut mengeksekusi lahan,” kata Yudi.

 

Sumber: Kompas