Awalnya Sutiyana, petani kelapa sawit asal Desa Pangkalan 3, Km 50 Kecamatan Pangkalan Lada, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, tidak percaya dengan skim sertifikasi minyak sawit berkelanjutan lebih banyak manfaatnya ketimbang masalahnya.

Terlebih mendengar skim tersebut, petani sudah dibuat pusing dan menganggap skim minyak sawit berkelanjutan hanya akan memberatkan petani kelapa sawit yang sudah lumayan mendapatkan manfaat ekonomi dari menjual buah sawit selama ini.

Namun setelah mempelajari dan memahaminya, ternyata mengikuti proses skim sertifikasi minyak sawit berkelanjutan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), justru lebih banyak manfaat didapat.

Sutiyana bercerita, awalnya yang mengikuti proses sertifikasi minyak sawit berkelanjutan versi petani swadaya RSPO berjumlah 179 KK dengan lahan seluas 327 ha yang tergabung dalam KUD Tani Subur. Dari mengikuti proses sertifikasi minyak sawit berkelanjutan itu pendapatan petani sontak melonjak, lantaran produksi dilakukan secara baik dan benar sesuai Good Agricultural Practices (GAP), serta mulai terbukanya akses pasar.

Melihat kondisi tersebut, membuat petani eks plasma di wilayah tersebut kepincut ikut bergabung, tutur Sutiyana, sebanyak 500 KK dengan areal seluas 1100 ha ikut bergabung untuk menerapkan skim sertifikasi minyak sawit berkelanjutan. “Kami terbagi dalam dua KUD, yakni KUD Tani Subur seluas 830 ha sisanya masuk dalam KUD Berkat Maju, dimana totalnya saat ini sekitar 1.420 ha,” katanya kepada InfoSAWIT, belum lama ini di Bangkok.

Dari menerapkan skim minyak sawit berkelanjutan tersebut untung pun datang tiba-tiba, disaat harga buah sawit yang masih turun naik mengikuti fluktuasinya harga minyak sawit dunia, ternyata hasil penjualan kredit minyak sawit berkelanjutan petani mampu tembus sampai Rp 2 miliar.

Namun lantaran harga buah sawit yang masih belum stabil, hasil penjualan kredit minyak sawit berkelanjutan itu dikembangkan oleh petani dengan membaginya dalam tiga kelompok yakni sebanyak 30% untuk dibagikan secara tunai kepada petani, lantas 30% untuk pembiayaan operasional koperasi dan 30% untuk pengembangan usaha koperasi, sementara sisanya yang 10% digunakan untuk kas Koperasi.

 

Sumber: Infosawit.com