JAKARTA – Program pencampuran 30 persen minyak nabati ke solar atau Biodiesel 30 (B30) akan diujicobakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada Maret 2019. Program ini merupakan lanjutan dari B20 yang telah menjadi mandatori dan diterapkan secara menyeluruh ke sektor non-pelayanan publik sejak September tahun lalu. 

Direktur Bioenergi Kementerian Energi, Andriati Feby Misna, mengatakan untuk tahap awal B30 akan diujicobakan di kendaraan. Uji coba di jalanan ini bertujuan untuk menentukan apakah B30 layak untuk digunakan. “Nanti dari hasil uji akan ada rekomendasi,” kata Feby kepada Tempo, kemarin. 

Andriah mengatakan uji coba serupa dulu juga diterapkan sebelum man-datori B20 diberlakukan. Namun uji kali ini akan berbeda agar kelak ketika diterapkan tak menimbulkan persoalan. Uji coba kendaraan berbahan bakar B30 akan menempuh jarak 60 ribu kilometer. Adapun uji coba dengan B20 sebelumnya hanya 40 ribu kilometer. “Setelah semua oke, baru akan diterapkan,” kata dia. 

B30 merupakan bahan bakar biodiesel yang merupakan campuran solar dengan fatty acid methyl ester (FAME) sebanyak 30 persen. Peta jalan penggunaan biodiesel pada solar menargetkan mandatori B30 bisa diterapkan pada 2020. 

Saat ini mandatori baru diberlakukan pada B20. Pemerintah memperluas penerapan kebijakan ini sejak September 2018 ke sektor non-pwbc service obligation untuk mengerem laju impor minyak mentah. 

Uji coba B30 dinilai perlu lebih matang lantaran program B20 pernah mendapat penolakan pelaku usaha, terutama dari sektor transportasi, yang awalnya tak waj ib menggunakannya. Keluhan muncul karena biosolar 20 persen itu dinilai memiliki kualitas buruk. Jika dibiarkan terlalu lama, terjadi pemisahan antara solar dan minyaksawit(crude palm oil/CPO) yang menjadi bahan baku tambahan. 

Andriah hakul yakin permintaan minyak kelapa sawit untuk penggunaan lokal akan meningkat di masa mendatang. Sebab, PT Pertamina (Persero) juga semakin serius menghasilkan produk minyak yang lebih ramah lingkungan. Dua hari lalu, Pertamina meneken kesepakatan dengan Eni S.p.A, perusahaan migas asal Italia, untuk pengembangan green refinery. 

Direktur Pengolahan Pertamina, Budi Santoso Syarif, menyebutkan kerja sama itu menjadi tonggak penting bagi pengembangan energi masa depan Indonesia yang akan mengurangi penggunaan energi fosil. Budi menilai Pertamina perlu bekerja sama dengan perusahaan migas dunia yang berpengalaman dalam pengembangan green energy untuk memproses CPO 100 persen menjadi green diesel maupun green avtur. “Indonesia memiliki sumber green energy, yakni minyak kelapa sawit yang melimpah. Ini bisa menjadi potensi besar bagi Indonesia ke depannya,” ujar Budi. 

CPO Processing Agreement tersebut mengawali upaya Pertamina untuk mengolah minyak kelapa sawit di kilang Eni di Italia. Budi mengatakan Pertamina dan ENI juga akan melanjutkan diskusi tentang potensi pembangunan green refinery di Indonesia untuk memproduksi hydro-treated vegetable oil (HVO) di Indonesia .”Pertamina saat ini juga telah berhasil mengolah CPO dengan coprocessing di refinery dengan pilot project di Kilang Plaju, yang beroperasi pada Desember 2018,” kata Budi. 

Kilang Plaju di Sumatera Selatan saat ini memang mulai dikonversi menjadi green refinery. Kilang ini menghasilkan green fuel, green LPG, dan green avtur dengan pemanfaatan CPO hingga 7,5 persen. 

Pertengahan bulan ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan sempat melihat langsung proyek green refinery di Kilang Plaju. Jonan mengatakan green energy harus dibangun dan disiapkan untuk generasi mendatang. “Inilah tantangan sekaligus peluang bagi Pertamina untuk terus menyediakan bahan bakar berkualitas dan ramah lingkungan, dengan memanfaatkan sumber daya dalam negeri,” kata Jonan. 

Sumber: Koran Tempo