JAKARTA – Pemerintah menegaskan komitmennya untuk melanjutkan program pengembangan biodiesel berbasis minyak kelapa sawit di tengah potensi defisit insentif dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Komitmen itu tertuang dalam rencana untuk menyuntikkan dana subsidi untuk program biodiesel yang akan diserap dari APBN 2020. Subsidi tersebut termasuk dalam program yang tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan bahwa kondisi adanya gap atau jarak antara harga indeks pasar (HIP) bahan bakar nabati (BBN) dan HIP solar pada saat ini membuat kebutuhan subsidi meningkat.

Dia mengungkapkan, dengan adanya gap yang besar tersebut membuat insentif yang seharusnya diberikan Badan Pengelola Dana Perkebunan kelapa sawit (BPDP-KS) tak lagi mencukupi karena kondisi keuangan lembaga itu yang sedang tertekan.

“Saat ini posisi keuangannya [BPDP KS] tidak mungkin untuk meng-couer insentif itu hingga akhir tahun, cukup besar gapnya antara HIP,” ujarnya pada Rabu (13/5).

Untuk menjaga program biodiesel berkelanjutan, maka dibutuhkan insentif tambahan. Dia menyebut pihaknya telah membahas masalah tersebut dalam rapat kooordinasi yang juga melibatkan BPDP-KS dan pelaku industri.

Berdasarkan data Kemenkeu yang diperoleh Bisnis, terdapat kebutuhan subsidi gap antara HIP BBN dengan HIP BBM.

Adapun, harga referensi CPO Mei pada level US$635,15 per ton, sehingga pungutan ekspor CPO sebesar US$50 per metrik ton dan bea keluar CPO sebesar US$0 per ton. Dengan tren saat ini, diperkirakan rata-rata subsidi gap antara HIP BBN dengan HIP BBM sebesar Rp3.732 per liter.

Dengan demikian, kekurangan pembiayaan BPDPKS adalah se-nilai Rp3,54 triliun. Kekurangan tersebut akan ditambal pengusaha melalui kenaikan tarif pungutan ekspor US$5/ton mulai 1 Mei 2020, di mana dana akan terkumpul sekitar Rp760 miliar.

Sementara itu, pemerintah bakal memberikan subsidi senilai Rp2,78 triliun yang bersumber dari APBN.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun tak tinggal diam dan tengah mencarikan solusi untuk mengatasi masalah defisit insentif yang dapat berikan oleh BPDP KS.

Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengungkapkan bahwa pihaknya masih membahas sejumlah opsi yang akan digunakan untuk masalah tersebut. “Ya sedang dicarikan solusinya,” katanya pada Kamis (14/5).

Dia menambahkan, pandemi Covid-19 turut berdampak pada program pengembangan biodiesel. Pasalnya, penurunan permintaan solar turut berdampak terhadap minat akan bahan campuran biodiesel fatty acid methyl ether (FAME), sehingga bakal ada koreksi untuk target yang sudah direncanakan.

Adapun, serapan FAME sampai dengan 22 April 2020 tercatat sebesar 2,58 juta kiloliter atau sekitar 26,8% dari target awal.

Di sisi lain, tambahnya, kondisi saat ini membuat pemerintah mengkaji opsi untuk menunda program pengembangan B50 (campuran FAME 50%) antara satu hingga dua tahun mendatang dari rencana tahun ini.

VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menjelaskan bahwa pembelian FAME oleh Pertamina dari badan usaha bahan bakar nabati (BU BBN) telah mengikuti regulasi pemerintah yaitu harga terendah antara HIP BBN dengan HIP Solar.

Adapun, atas selisih harga tersebut BUBBN mendapatkan insentif pembayaran dari BPDP KS. “Pertamina tetep berkomitmen untuk implementasi [mandatori] B30 [biodiesel kadar 30% FAME],” katanya kepada Bisnis, Kamis (14/5).

KONSUMSI CPO

Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki) menilai komitmen pemerintah dalam program Biodesel cukup baik dengan rencana skema subsidi dari APBN 2020 dalam rangka pemulihan ekonomi.

Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan meski belum mendengar secara detail rencana tersebut, tetapi dia menyambut baik karena akan positif untuk sawit.

“Saya kira akan bagus buat sawit, kebijakan pemerintah sejak B20 kemudian B30 meningkatkan penggunaan CPO [minyak sawit mentah] dalam negeri dan berperan memperbaiki harga sawit,” katanya kepada Bisnis, Kamis (14/5).

Gapki melaporkan produksi sawit pada kuartal 1/2020 cenderung lebih rendah 14% dengan volume total 10,99 juta ton. “Konsumsi minyak sawit untuk pangan dalam negeri turun sekitar 8,3%. Sebaliknya konsumsi untuk produk oleokimia naik sebesar 14,5% dan konsumsi biodiesel relatif tetap,” katanya.

Sementara itu, pemerintah diminta untuk mengkaji rencana pemberian subsidi untuk kelanjutan program biodiesel 30.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, pemerintah memiliki target yang ambisius dengan mendorong B30 lebih cepat sehingga biaya yang diperlukan untuk memberikan subsidi menjadi sangat besar.

Padahal, harga minyak sawit di pasar dunia juga anjlok di bawah batas minimum untuk dilakukannya pungutan ekspor minyak sawit. Akibatnya, BPDP KS mengalami defisit karena dana dari pungutan sawit tidak dapat dilakukan tahun lalu dan awal tahun ini.

Dorong Energi Baru Terbarukan

Pemerintah menempuh berbagai cara untuk mendorong penggunaan energi berbasis sumber daya alam yang terbarukan, termasuk salah satunya dengan mandatori pemanfaatan bahan bakar nabati atau biodiesel dari hasil olahan minyak kelapa sawit.

 

Sumber: Bisnis Indonesia