Setelah berupaya mendiskriminasikan penggunaan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) untuk energi terbarukan, kini Uni Eropa menyudutkan produk turunan komoditas tersebut lewat isu kesehatan.

Potensi hambatan dagang tersebut bermula dari studi Uni Eropa (UE) tentang batas kandungan 3-monochtotopropane-l, 2-diol ester (3MCPDE) dan glytidyl ester (GE) dalam minyak nabati olahan, termasuk minyak kelapa sawit.

Studi tersebut telah disampaikan kepada Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Orga-nization/FAO) dan telah dibahas dalam sejumlah sidang Codex Alimentarius Commission.

Sidang Codex itu bertujuan menciptakan standar keamanan pangan yang dapat diterima di seluruh dunia, termasuk kode praktik, panduan, dan rekomendasi yang berhubungan dengan makanan.

Ketua Dewan Minyak sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengatakan, apabila FAO menyetujui penelitian yang diajukan UE itu, dampaknya akan lebih masif dibandingkan dengan kebijakan diskriminasi UE terhadap CPO untuk sektor energi melalui skemarenewable energy Directiven (RED II).

Dia menilai upaya UE melalui FAO ini adalah tantangan yang lebih besar dan dampaknya lebih luas, tidak hanya untuk sektor energi, tetapi juga untuk bidang makanan yang merupakan pasar utama CPO.

Pasalnya, lanjut Derom, ekspor CPO dan produk turunannya asal Indonesia mayoritas digunakan untuk campuran bahan makanan.

Sepanjang 2018, total volume ekspor produk turunan CPO Indonesia mencapai 28,14 juta ton. “Lebih dari 80% ekspor [produk turunan) CPO kita digunakan untuk campuran bahan makanan. Kalau studi UE itu disetujui oleh FAO, besar kemungkinannya akan dijadikan mandatori di seluruh dunia, karena FAO merupakan badan di bawah PBB,” ujar Derom kepada Bisnis, Jumat (15/3).

Dia mendesak pemerintah segera membentuk tim guna meneliti karsinogenik yang diklaim UE terkandung dalam CPO dan produk turunannya. Langkah tersebut untuk membantah studi yang dilakukan UE.

“Diskriminasi itu jelas terjadi. Dalam studi mereka, CPO disebut memiliki kontaminasi karsinogen jauh di atas 4 mikrogram [ug] per kilogram makanan atau batas yang dizinkan untuk manusia. Padahal, kandungan CPO tidak setinggi itu,” jelasnya.

Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono. Menurutnya, apabila konsep tersebut diterima FAO, keberlangsungan permintaan global terhadap CPO dan produk turunannya akan terancam.

Pasalnya, Indonesia dan produsen CPO lain tidak akan dapat menempuh jalur gugatan melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), karena Tanahnya sudah masuk ke mandatori dunia.

Padahal, lanjut dia, permintaan dunia terhadap produk CPO untuk campuran makanan, seperti margarin dan minyak goreng, tengah berkembang di dunia.

Bahkan, eksportir produk olahan CPO tengah menyasar pasar baru, a.l. Afrika dan Timur Tengah, yang memiliki permintaan besar terhadap produk CPO untuk campuran makanan itu.

“Indonesia dan Malaysia sudah membentuk studi dan penelitian tersendiri. Targetnya, penelitian itu selesai pertengahan tahun ini dan segera dipublikasikan ke jurnal internasional,” katanya.

Dia menilai, perlawanan lewat studi ilmiah tak kalah penting dibandingkan dengan upaya Indonesia menggugat UE melalui WTO terkait dengan pemberlakuan skema RED II.

Berkaca dari kasus penerapan RED II, negara penghasil CPO tergolong terlambat dalam melakukan kampanye positif melaui penelitian.

BISA DIPATUHI

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, upaya dari UE dan FAO tersebut sejatinya bisa dipatuhi oleh produsen Indonesia sepanjang minyak nabati non-CPO dan CPO diperlakukan setara.

Dalam hal ini, FAO harus menentukan batas 3MCDPE dengan level yang sama, baik untuk CPO maupun minyak nabati lain. Menurut penelitian UE dan FAO, komoditas CPO dimasukkan dalam kategori 3MCDPE yang memiliki kandungan karsinogenik level tinggi, sedangkan minyak nabati lain digolongkan dalam level rendah.

“Kalau penelitian yang ada saat ini kita turuti, citra CPO akan hancur di dunia karena dianggap berkualitas rendah,” ujarnya.

Menurut Sahat, produsen minyak olahan kelapa sawit di Indonesia sudah bisa menghasilkan produk dengan tingkat 3MCDPE setara dengan minyak nabati lain karena peralatan pengolahan di Indonesia telah mengadopsi teknologi terbaru untuk menekan kandungan lemak jenuh.

“Kami mendesak supaya batas maksimum 3MCDPE ini ditetapkan satu saja, tidak dipisahkan. Kalau batasannya satu, lebih mudah bagi RI untuk mengikuti aturannya.”

Dia mengatakan, ketentuan mengenai batas 3MCDPE untuk seluruh minyak nabati akan dihasilkan setelah pertemuan Codex Commitee on Contaminants in Foods FAO pada bulan depan di Yogyakarta.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan, langkah UE dan FAO itu berisiko menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap industri makanan
dan minuman Indonesia.

“Apapun sentimen terhadap komoditas CPO, hal itu akan berdampak kepada kinerja mamin secara keseluruhan,” jelasnya.

Di tempat terpisah, Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia Darmin Nasution mengatakan, pemerintah terus melakukan pendekatan kepada FAO dan United Nations Environment Programme (UNEP).

Pendekatan itu, menurutnya, dilakukan untuk menjaga agar CPO tidak didiskriminasikan dari produk minyak nabati sebagai bahan campuran makanan di seluruh dunia

“Dalam pertemuan Codex Commitee on Contaminants in Foods April, RI akan mendorong agar batas maksimum kandungan 3MCDPE dan GE dijadikan satu, tidak terpisah seperti yang diusulkan oleh UE.”

Sementara itu, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan yang dihubungi terpisah tidak memberikan komentar terkait dengan langkah yang disiapkan pemerintah untuk menangkal \’serangan\’ Uni Eropa itu.

Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus berpendapat, selama ini Indonesia cenderung terlambat dan kurang agresif dalam memublikasikan jurnal penelitian mengenai manfaat CPO dan produk turunannya.

Menurutnya, apabila CPO dan produk turunannya dilarang sebagai bahan campuran makanan di seluruh dunia, hal itu akan berdampak pada kinerja ekspor nonmigas nasional secara keseluruhan. “Sebab sejauh ini Indonesia masih bergantung kepada CPO sebagai komoditas andalan ekspor,” ujarnya.

Sumber: Bisnis Indonesia