JAKARTA. Akhirnya, PT Pertamina mampu memproduksi bahan bakar 100% sawit (BBS) alias D100 dengan produksi 1.000 barel per hari. Agar pasokan terjamin dan harga produk ekonomis, pemerintah sedang merumuskan kebijakan wajib pasok pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan patokan hargajual sawit atau price cap.

Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati mengungkapkan, agar program bahan bakar 100% sawit atau DI00 terus berkelanjutan, maka perlu kepastian pasokan sawit sebagai bahan baku energi. “Harus ada DMO dan harga khusus (price cap) sawit,” ungkap dia kepada KONTAN, Rabu (15/7).

Nicke memastikan Pertamina saat ini sudah siap memproduksi bahan bakar sawit. Oleh karena itu, ketersedian pasokan bahan baku sawit menjadi penting. “Kalau kami tugasnya secara teknis dan kapasitas produksi sudah siap dengan kilang kami yang dimodifikasi,” imbuh dia.

Pertamina mengatakan kebijakan DMO sawit bisa dibahas dengan lintas kementerian. Sebab, pada dasarnya sawit adalah komoditas yang berada di bawah Kementerian Pertanian, sementara dari sisi industri berada di bawah Kementerian Perindustrian.

“Nanti Menko Perekonomian yang mungkin bahas. Sekarang harus dikaitkan antara harga CPO dan minyak, sebab CPO sekarang bisa jadi bahan bakar,” ungkap Nicke.

Terkait keekonomian produk, Nicke mengatakan harga CPO saat ini lebih tinggi daripada harga minyak mentah (crude oil). “Di sana memang nanti bicara soal price cap agar produk D100 menjadi ekonomis,” kata dia.

Keuntungan memproduksi D100, kata Nicke, bisa mengurangi neraca defisit berjalan yang setiap tahun terus naik. “Kami akan produksi 20.000 barel per hari untuk satu unit nanti pada 2023,” ungkap dia.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono, menilai kebijakan DMO untuk minyak sawit mentah tidak tepat. “Karena saat ini suplai CPO masih berlimpah,” ujar dia kepada KONTAN, Kamis (16/7).

Lebih lanjut, Joko bilang, kebijakan DMO hanya efektif apabila suplai dari produksi lokal masih kurang. Sementara saat ini produksi CPO di Indonesia mencapai 47 juta ton setiap tahun, sedangkan daya serap untuk biodiesel cenderung rendah, yakni hanya 9,5 juta ton.

Menurut Gapki, seandainya B100 langsung diterapkan, tidak serta merta mampu menyerap produksi minyak sawit nasional. Sebab, diprediksi produksi CPO di Indonesia dalam lima tahun mendatang juga masih terus meningkat.

Soal kebijakan harga CPO yang diyakini berbeda dengan harga ketika ekspor, Joko belum dapat berkomentar.

Sementara itu Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjak-rawan menilai wacana kebijakan DMO tak boleh terburu-buru, harus ada riset dan perhitungan yang tepat. “Perlu kajian terpadu oleh pemerintah. Jika dianggap sudah baik kajiannya, bisa dimulai dengan CPO hasil PTPN terlebih dulu, karena lebih mudah pengaturannya,” sebut dia.

Sekretaris Perusahaan PT Mahkota Group Tbk (MGRO), Elvi mengatakan, pelaku usaha sawit baik hulu maupun hilir tentu tidak mau dirugikan akibat DMO terutama dari sisi harga. Namun dia tidak menampik bahwa penerapan DMO tentunya bisa membuat penjualan di pasar domestik meningkat drastis. Walau perlu kajian lebih lanjut.

 

Sumber: Harian Kontan