Program kemitraan inti-plasma sawit dinilai tidak lagi sesuai perkembangan jaman. Banyak kelemahan dari pola kerjasama kemitraan ini lantaran petani dijadikan mitra yang lemah dan pasif (sleeping partner).
“Dalam perjalanannya, sistem inti-plasma menyimpan banyak kekurangan. Karena itu tidak perlu dilanjutkan ,” kata Sahat Sinaga, Wakil Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), dalam perbincangan beberapa waktu lalu.
Kekurangan yang pertama, kata Sahat, manajemen kebun plasma yang bermitra dengan inti sangat beragam status pengelolaannya. Ada yang bersifat individu dan ada pula di bawah pengelolaan berkelompok seperti Koperasi atau GAKOPTAN. Tetapi, banyak pengurus koperasi adalah petani. Disinilah terjadi problem salah urus yang menimbulkan kepentingan pribadi sehingga merugikan petani plasma lainnya.
Kedua, lemahnya pengetahuan Good Agriculture Practice (GAP) yang dimiliki petani plasma. Karena, selama program kemitraan untuk pengelolaan kebun berada di bawah kendali perusahaan (inti) seperti pemilihan bibit, pupuk, dan panen.
Kelemahan yang ketiga mengenai posisi tawar petani yang lemah di hadapan perusahaan. Seringkali ditemukan kualitas buah sawit dari kebun petani ditentukan sepihak oleh perusahana begitu pula harga pembelian buah.
Keempat, petani plasma tidak mengetahui perhitungan biaya produksi.
Kelima, kurangnya perencanaan jangka panjang petani plasma. Petani termasuk koperasi tidak mendapatkan penyuluhan oleh perusahaan dalam hal pengelolaan kebun sawit supaya efektif. Sebagai contoh upaya peningkatan produktivitas tanaman dan pola penyisihan dana untuk program replanting.
Sahat menegaskan dengan pertimbangan banyaknya kelemahan tadi, sebaiknya pemerintah tidak perlu lagi melanjutkan kemitraan inti-plasma. Efek dari pola kemitraan ini membuat petani bergantung kepada perusahaan dan lemah posisi tawar mereka. “Persoalan lambatnya program replanting petani di era pemerintahan Jokowi akibat minimnya perusahaan yang siap mendukung pendanaan.”
Solusi yang ditawarkan adalah membangun kemandirian petani dari aspek budidaya dan ekonomi melalui proses pelembagaan. Sahat berpendapat koperasi merupakan badan usaha yang tepat sebagai penanggung jawab kredit (credible). Pengembangan kebun sawit petani adalah mengelola kebun itu secara korporasi (estate) dan bukan individu seperti bercocok tanam cabe atau hortikultura lainnya.
Oleh karena itu, Sahat mengusulkan pola kemitraan-inti digantikan dengan skema koperasi. Untuk membentuk koperasi yang kuat sebaiknua dikelola oleh profesional seperti halnya perusahaan Inti dan bila petani yang bernaung di dalam koperasi itu, maka mereka berkerja sebagai workers di perkebunan.
Sahat mengusulkan Wadah koperasi dapat dikelola lebih professional sehingga menghindari kepentingan pribadi yang masuk di dalam koperasi. Syarat menjadi pengurus koperasi antara lain tidak punya kebun sawit.
Nantinya, luas kebun sawit yang dikelola koperasi antara 1.200-1.800 hektare atau setara 500 – 1.200 kepala keluarga untuk mencapai economic size. Para petani dapat ikut mengelola kebun secara langsung untuk pemeliharaan kebun dan pemanenan dibawah arahan dan instruksi dari pengurus Koperasi.
Dengan peranan besar kepada koperasi ini akan memperkuat aspek kelembagaan ekonomi rakyat dan penguatan kapasitas mereka. Menurut Sahat, petani akan belajar bagaimana caranya meningkatkan produktivitas tanaman, pengalokasian biaya perencanaan keuangannya . “Untuk membuat koperasi ini mandiri dan sukses, pemerintah dawepat menggandeng institusi pendidikan perkebunan untuk menjalankan pilot project di beberapa Kabupaten sebagai rujukan bagi petani lain,”jelasnya.
Sahat meragukan peningkatan kemampuan petani apabila konsep inti-plasma tetap dipertahankan. Indonesia bisa belajar dari Malaysia yang sukses membangun perusahaan berbasis kepemilikan petani bernama FELDA.
Perusahaan Malaysia tersebut yang telah berdiri semenjak 30 tahun lalu, sekaran menjadi pemain besar di industri sawit dunia. “Indonesia bisa meniru Malaysia yang memberikan keleluasaan dan kemudahan bagi petani dalam membangun korporasi. Syaratnya, berikan kepercayaan dan kesempatan kepada petani kita,”pungkasnya.
Sumber: Sawitindonesia.com