Jakarta – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) memaparkan sejumlah penyebab petani sawit sulit mendapatkan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). ISPO sendiri merupakan sertifikat yang wajib dimiliki pihak pengelola perkebunan sawit termasuk petani sawit sebagai verifikasi bahwa pengelola sudah terdaftar dan diakui negara.
Sebagaimana diketahui, pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia yang diundangkan pada tanggal 16 Maret 2020.
Adanya penyelenggaraan sistem sertifikasi ISPO ini ditujukan untuk memastikan dan meningkatkan pengelolaan serta pengembangan perkebunan kelapa sawit sesuai prinsip dan kriteria ISPO, meningkatkan keberterimaan dan daya saing hasil perkebunan kelapa sawit Indonesia di pasar nasional dan internasional, juga meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca.
Namun, sejak diterbitkan banyak petani sawit yang justru kesulitan mengurus sertifikasi tersebut. Kendala utamanya ialah banyak kebun sawit yang secara administrasi masih dalam kawasan hutan dan masih banyak yang belum memiliki sertifikat kepemilikan.
“Jadi dari hasil penelitian kita, ternyata petani sawit itu 62% berada di HPT (Hutan Produksi Terbatas) dan hanya 1% dalam hutan lindung. Ini yang kita lakukan di 3 kabupaten di provinsi Riau berdasarkan RTRW Riau. Jadi ada yang aneh, sebelum RTRW Riau ada, APL (areal penggunaan lain) itu petani berada 44%, tetapi setelah RTRW Riau ada petani itu hanya tinggal 6,9% yang berada pada APL, kok bisa berkurang, setelah kita cari tau ternyata banyak yang dulunya putih tetapi setelah RTRW yang baru, karena petani tidak punya kemampuan untuk akses maka dia kembalikan ke hutan. Ini menjadi persoalan serius bagi kami petani sawit di Riau. Nah inilah permasalah kenapa petani itu tidak bisa ber-ISPO,” terang Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung dalam telekonferensi, Rabu (13/5/2020).
Selanjutnya, masalah pendanaan. Menurut Gulat, untuk melakukan pra-kondisi atau mempersiapkan berbagai hal seperti persyaratan untuk sertifikasi ISPO, dibutuhkan bantuan dana. Untuk masalah satu ini, Gulat berharap pemerintah bisa memberikan sertifikat secara cuma-cuma saja seperti yang sudah dilakukan Presiden Joko Widodo kepada petani di sektor lain.
“Pemerintah sudah memberikan sertifikat gratis yang dibagikan pak Presiden secara masif di mana-mana. Tetapi perlu diketahui, bahwa petani sawit itu masih belum tersentuh yang dibagikan itu hanyalah pada level perumahan, pekarangan dan sejenisnya. Kami dari Apkasindo telah berusaha menggandeng BPN di provinsi Riau dan terakhir kami mengundang BPN pusat, tetapi semuanya hanya hit and run, artinya tidak berkeujungan. Nah, kalau kita lihat, kenapa ISPO jadi kendalanya petani. Karena kami tidak mempunyai legalitas hak milik dan lain sebagainya,” tambahnya.
Tak hanya itu, masih ada petani yang tidak tergolong dalam koperasi atau kelompok tani. Padahal, salah satu syarat untuk mendapatkan sertifikat ISPO pun harus lembaga atau koperasi yang berbadan hukum.
“Petani terbagi dua ada petani plasma satu lagi petani independen. Nah, petani plasma ini sekitar 14%, yang dominan adalah 86% petani kelapa sawit yang mandiri,” ungkapnya.
Sumber: Detik.com