Jakarta – Indonesia merupakan produsen terbesar Kelapa Sawit yang menguasai sekitar 55% pangsa pasar sawit dunia. Dibandingkan komoditas pesaing lainnya, produksi Kelapa Sawit lebih efisien dan produktivitas yang Iebih tinggi dalam pemanfaatan lahan.
Sebagai perbandingan, untuk menghasilkan 1 ton minyak sawit hanya membutuhkan lahan 0,3 hektare, sedangkan rapeseed oil membutuhkan lahan seluas 1,3 hektare, sunflower oil seluas 1,5 hektare dan soybean oil seluas 2,2 hektare.
“Pemerintah berkomitmen untuk mendukung program B30 pada 2021 dengan target alokasi penyaluran sebesar9,2jutaKiloLiter. Hal ini bertujuan untuk menjaga stabilisasi harga CPO. Dengan kebijakan tersebut, target 23% bauran energi yang berasal dari Energi Baru Terbarukan pada 2025 sebagaimana ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional akan dapat tercapai,” ujar Menteri Ko- ordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah dalam mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan rendah karbon. Program B30 telah berkontribusi dalam upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk sekitar 23,3 juta ton karbondioksida (CO2) pada tahun 2020. Program ini juga berdampak positif pada penghematan devisa negara dengan pengurangan impor solar sebesar kurang lebih US$8 miliar.
Airlangga juga mengungkapkan, bahwa hal tersebut sesuai arahan arahan dari Presiden RI, Joko Widodo (Jokow) bahwa keterbukaan dan kesiapan Indonesia untuk mendukung investasi dan transfer teknologi termasuk investasi untuk transisi energi melalui pembangunan bio-fuel, industri baterai lithium, dan implementasi dari kendaraan listrik.
Keberhasilan uji terbang bioavtur ini telah memberikan kepercayaan tinggi terhadap kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan sumber daya domestik, khususnya minyak sawit, untuk dimanfaatkan sebagai upaya membangun kemandirian energi nasional. Melalui terobosan ini diharapkan dapat berdampak pada pengurangan ketergantungan energi dari impor, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Memperhatikan potensi pasar Bioavtur J2.4 yang dapat mencapai sekitar Rpl.l triliun per tahun, inovasi ini perlu didukung dengan kebijakan fiskal, baik melalui kebijakan perpajakan maupun dana riset, dalam rangka peningkatan keekonomian Bioavtur J2.4 guna merealisasikan potensi ekonomi tersebut bagi pembangunan bangsa. Ke depannya diharapkan agar Bioavtur (2.4 juga dapat di-ujiterbangkan pada pesawat-pesawat komersial sehingga potensi pasar ba-han bakar hasil inovasi anak bangsa ini dapat terus dikembangkan.
Upaya Pemerintah da- lam pengembangan J2.4, keberhasilan katalis merah putih, dan keberhasilan uji terbang J2.4, merupakan momentum yang perlu dikomunikasikan dan mendapat perhatian dari semua stakeholders terkait serta masyarakat luas.
“Kita patut berbangga bahwa pagi ini kita dapat menyaksikan keberhasilan anak bangsa yang dapat mewujudkan pembuatan bioavtur atau 12.4 yang juga telah diuji terbangkan dengan menggunakan pesawat CN235-220 milikPT Dirgantara Indonesia,” ungkap Airlangga.
Airlangga berharap, keberhasilan ini dapat menjadi langkah awal bagi peningkatan kontribusi biofuel bagi sektor transportasi udara, penguatan ketahanan energi nasional, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Saya mengapresiasi kepada Kementerian ESDM dan seluruh pihak yang terlibat aktif dalam penyelenggaraan acara ini, dan juga tim peneliti yang beranggotakan para tenaga ahli dari ITB, PT Pertamina, PT DI, PT GMF, Kementerian Perhubungan, serta didukung oleh BPDPKS. Kolaborasi antara Perguruan Tinggi, industri dan Pemerintah yang telah diimplementasikan dengan baik sehingga menjadi momentum bagi pengembangan riset dan inovasi di dalam negeri,” jelas Airlangga.
Sebelumnya, Corporate Secretary Subholding Refining Petrochemical Pertamina, Ifki Sukarya menegaskan bahwa melalui tahap pengembangan yang komprehensif, Bioavtur 12.4 terbukti menunjukkan performa yang setara dengan ba-han bakar avtur fosil. “Sejak tahun 2014, Pertamina telah merintis penelitian dan pengembangan Bioavtur melalui Unit Kilang Dumai dan Cilacap. Performa Bioavtur sudah optimal, dimana perbedaan kinerjanya hanya 0.2 – 0.6% dari kinerja avtur fosil. Bioavtur J2.4 mengandung nabati 2.4%, ini merupakan pencapaian maksimal dengan teknologi katalis yang ada,” jelas I tki.
Sumber: Harian Ekonomi Neraca