Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) memproyeksikan konsumsi domestik oleokimia meningkat 10%-12%. Dipengaruhi kebutuhan permintaan terhadap produk sanitasi dan farmasi.
Ketua Umum APOLIN, Rapolo Hutabarat, menjelaskan permintaan oleokimia di dalam negeri akan meningkat antara 165 ribu-168 ribu ton setiap bulan sepanjang tahun ini. Pertumbuhan domestik rerata 10%-12% sehingga dalam setahun dapat mencapai 1,98 juta-2 juta ton.
Pada 2020, kapasitas produksi oleokimia telah mencapai 11,3 juta ton dari 21 perusahaan yang tergabung dalam APOLIN. Rapolo mengatakan indutri kelapa sawit dari hulu sampai hilir sangat strategis baik dari investasi, kesempatan kerja, dan devisa ekspor. Pada tahun lalu, Indonesia telah menikmati surplus neraca perdagangan sebesar US$ 21,7 miliar.
“Ekspor non migas memberikan kontribusi besar bagi perdagangan Indonesia yang didominasi kelapa sawit. Pada 2020, nilai ekspor sawit mencapai 22,97 miliar atau setara Rp 330,97 triliun. Kontribusi ekspor sawit terhadap APBN mencapai 13,08%,” ujar saat membuka Dialog Webinar bertemakan “Fitonutrient Sawit Untuk Kesehatan dan Personal Care” yang diselenggarakan APOLIN dan Majalah Sawit Indonesia, pada akhir Maret 2021. Kegiatan ini mendapatkan dukungan penuh dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Untuk oleokimia, pandemi membawa dampak terhadap volume dan nilai ekspor. Pada 2019, volume ekspor 3,18 juta ton dengan nilai sebesar US$ 2,03 miliar. Namun di tahun 2020, menurut Rapolo sebagai dampak dari pandemi meningkatkan kebutuhan produk oleokimia dari industri farmasi dan kesehatan. Ekspor dapat mencapai 3,87 juta ton dengan nilai US$ 2,57 miliar.
“Tahun 2021, kami perkirakan volume ekspor oleokimia nasional dapat mencapai 4,4 juta sampai 4,7 juta ton dari 15 HS Code. Semoga bisa tercapai,” ujarnya.
Dengan pertimbangan di masa pandemi covid-19 ini bahwa nutrisi yang cukup dan seimbang, pola hidup bersih dan perawatan tubuh menjadi salah satu kunci untuk menjaga kesehatan.”Disinilah produk oleokimia punya peluang mengisi kebutuhan tersebut,” jelasnya.
Ia mengatakan bahwa kandungan fitonutrien berupa vitamin A dan E di dalam minyak sawit menyimpan potensi besar. Dari data yang dikumpulkan asosiasinya, potensi ekonomi betakaroten minyak sawit sebesar US$ 4,7 miliar per tahun dan tokoferol punya nilai tambah US$ 2,7 miliar per tahun.
“Industri sawit ini dapat menjadi tambang ekonomi Indonesia di masa depan. Apa bila, industri dengan dukungan pemerintah mengoptimalkan nutrisi sawit. Fitonutrien sawit sangat dibutuhkan bagi pola hidup seimbang. Demikian pula, industri farmasi dan kecantikan bagi perekonomian bangsa,” ujar Rapolo.
Ia mengatakan tujuan utama ekspor oleokimia adalah Uni Eropa, Tiongkok, Bangladesh, Pakistan, dan Afrika. Dari semua negara ini adalah Tiongkok menjadi pasar utama. Indonesia dianugerahi sebagai produsen CPO dan CPKO (minyak inti sawit) mencapai 51 juta ton pada 2020. Di Indonesia, ada 867 unit pabrik kelapa sawit. Didukung pula 86 unit refineri dengan total kapasitas 56 juta ton per tahun.
Sumber: Sawitindonesia.com