Indonesia sebagai negara agrais dan tropis, dapat menjadi bagian solusi dari masalah global tersebut, antara lain melalui peningkatan produksi perkebunan, seperti minyak sawit. Argumenya adalah :

Pertama, Produksi minyak sawit adalah berupa bahan pangan dan bahan energi terbarukan sehingga jika produksinya ditingkatkan akan dapat menyediakan bahan pangan dan energi global yang cukup sedemikian rupa sehingga trade off antara pangan dan energi global yang harus terjadi.

Kedua, Proses produksi perkebunan kelapa sawit menyerap CO2 dari atmofir bumi. Gas CO2 yang terlanjur tinggi diatmofir bumi akibat konsumsi BBF oleh perkebunan kelapa sawit diserap dan disimpan dalam biomass.

Ketiga, Dengan tersedianya bahan energi berupa minyak sawit  untuk biofuel yang cukup dan murah, maka konsumsi BBF dapat dikurangi dan emisi CO2dari BBF (penyumabng terbesar) dapat berkurang.

Perkebunan kelapa sawit menjadi bagian solusi atas masalah global tersebut sebetulnya sudah mulai terasakan. Berbagai studi (Suryana, 1986; 1989; Pasquali, 1993; Drajat et.al. 1995; Manurung , 1993; Zulkifli, 2000; Sri Hartoyo, 2010 Purba, 2011) mengungkapkan bagaimana  keterkaitan konsumsi minyak sawit dengan harga BBF dan harga minyak nabati lainnya di berbagai negara/kawasan. Jika harga BBF dan atau minyak nabati meningkat, yang mencerminkan minyak sawit adalah penganti BBF dan minyak nabati lainya.

Hasil studi tersebut juga dapat dimaknai bahwa setelah Indonesia berhasil menngkatkan produksi minyak sawit secara dramatis dan dipasarkan ke seluruh dunia, kenaikan terlalu tinggi harga BBF dan harga-harga minyak nabati/pangan global dapat dicegah dengan adanya minyak sawit yang lebih murah sebagai penganti. Seandainya tidak tersedia mkelimapah minyak sawit di pasar internasional khususnya dalam 10 tahaun terakhir ini, krisis pangan dan energi global yang terjadi pada tahun 2007 dan 2009 lalu mungkin akan lebih parah. Jadi, masyarakat internasional sebetulnya sudah menikmati manfaat dari minyak sawit (Sebagai bagian solusi global).

Perkebunan kelapa sawit sebagai bagian solusi global juga terjadi pada penyelamatan industri oleokimia global, khususnya dikawasan Eropa, Ameriak Utara dan Asia Timur. Hasil studi Wolfgang Rupilius dan Salmiah (2007) mengungkapkan bahwa industri oleokimia global (salah satu lokomotif industri di kawasan Eropa) seperti Henkel, Unilever, Lonza, KAO, Procter dan Gamble, Petrofina, AKZO Nobel telahterancam bangkrut akibat kesulitan bahan baku baik minyak nabati maupun dari turunan BBF. Untuk menghindari kebangkrutan industri-industri oleokimia tersebut relokasi dan atau joint venture dengan produsen bahan baku murah yakni minyak sawit. Saat ini industri oleo kimia tersebut menjadi global player pasar oleokimia global dan turunannya hampir di selururh dunia dengan mengunakan minyak sawit sebagai bahan baku.

Perkebunan kelapa sawit sebagai bagian solusi global juga haruslah menjadi bagian solusi juga di Indonesia. Dalam perekonomian Indonesia, perkebunan kelapa sawit mempunyai daya penyebaran yang lebih besar dari satu (Nurrohmat, et.al. 2010; Sipayung, 2012). Hal ini berarti perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu lokomotif ekonomi dan perekonomian Indonesia. Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit menarik pertumbuhan sektor-sektor lain dalam perekonomian. Perkembangan perkebunan kelapa sawit di pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi tidak hanya menarik pertumbuhan sektor-sektor ekonomi  di sentra perkebunan kelapa sawit, tetapi juga menarik pertumbuhan ekonomi di pulau Jawa, Bali dan seluruh daerah Indonesia.

Kontribusi pada devisa negara dan penerimaan pemerintah juga besar. Ekspor minyak sawit dan produk turunannya pada tahun 2008 (BPS, 2009) telah mencapai sekitar US $ 14 milyar dan masih meningkat dari tahun ketahun. Penerimaan pemerintah dri bea keluar ekspor minyak sawit dan produk turunannya pada tahun 2011 (kumulatif) telah bernilai Rp. 28,9 triliun. Belum lagi dari berbagai jenis pajak (PBB, PPh) yang nilainya diperkirakan cukup besar.

Dalam perebunan kelapa sawit terdapat sekitar 4 juta kepala keluarga yang sumber pendapatannya dari ekonomi kelapa sawit. Jika dihitung secara keseluruhan  termasuk kepada industri huli, hilir dan penyedia jasa termasuk suplier barang dan jasa, sekitar 6,7 juta kepala keluarga hidup dari persawitan Indonesia (Sipayung, 2012).

Daerah-daerah sentra sawit seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi peran ekonomi persawitan lebih signifikan lagi. Provinsi Sumatera Utara sebagai provinsi tertua persawitan, peranan ekspor minyak sawit pada tahun 2008 mencapai 50 persen dari total ekspor dan kontribusi dalam PDRB mencapai 30 persen (Tarigan dan Sipayung, 2011).

Dengan perkataan lain, Perkebunan kelapa sawit dalam perekonomian Indonesia  telah menunjukan kontribusinya sebagai bagian solusi dari pembangunan. Kontribusi tersebut masih dapat lebih besar lagi dimasa yang akan datang mengingat industri persawitan Indonesia masih dalam fase pertumbuhan, asalkan didukung kebijakan pemerintah yang bersahabat dengan persawitan.

Sumber: Indonesia Dan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Isu Lingkungan Global, GAPKI 2013

 

Sumber: Sawitindonesia.com