Upah buruh sawit di Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga, sementara risiko kerja yang dihadapi sangat besar. Kondisi ini memicu Koalisi Buruh Sawit (KBS) untuk mendesak segera disahkannya RUU Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit (RUPBS).
Gaji Buruh Sawit di Indonesia vs Malaysia
Pada 2025, upah minimum buruh sawit di Malaysia mencapai sekitar RM1.700 (setara Rp6 juta), bahkan dengan insentif total penghasilan dapat menyentuh Rp17 juta per bulan. Sementara itu, upah buruh sawit di Indonesia berkisar antara Rp2,8 juta hingga Rp3,6 juta per bulan, tergantung wilayah dan hasil negosiasi serikat buruh. Kondisi ini sangat kontras mengingat Indonesia adalah produsen CPO (crude palm oil) terbesar dunia dengan luas kebun mencapai 17,3 juta hektare dan produksi 52,76 juta ton.
Risiko dan Kondisi Kerja Buruh Sawit
Buruh sawit bekerja di lingkungan yang menantang:
-
Jarak dan medan: Perkebunan sering berada jauh di pedalaman dengan area garapan hingga 500–700 hektare.
-
Paparan kimia dan panas: Pestisida dan suhu tinggi meningkatkan risiko gangguan kesehatan.
-
Fasilitas minim: Hampir tidak ada tempat istirahat, toilet layak, atau akses air bersih di kebun.
Kondisi ini menimbulkan keluhan buruh akan kurangnya perlindungan hak dan jaminan keselamatan kerja, dari mulai tunjangan risiko hingga asuransi kecelakaan.
Tuntutan Pembentukan RUU Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit
Menanggapi situasi tersebut, KBS mengusulkan RUPBS yang memuat:
-
Standar upah layak sesuai karakteristik perkebunan sawit.
-
Jaminan keselamatan kerja, termasuk perlindungan asuransi dan fasilitas dasar di lapangan.
-
Hak-hak sosial seperti cuti sakit, tunjangan pendidikan, dan pensiun.
Pengesahan RUU ini diharapkan dapat menyetarakan kondisi buruh sawit Indonesia dengan standar internasional, sekaligus mengurangi angka kecelakaan kerja dan meningkatkan kesejahteraan keluarga buruh.
